Category Archives: Berita Dunia Digital

https://mezzojane.com

Belanja Makin Cerdas: ChatGPT Kini Bisa Jadi Asisten Belanja Digital

OpenAI baru saja memperbarui fitur pencarian pada ChatGPT dengan menambahkan kemampuan berbelanja daring yang praktis dan interaktif. Pengguna kini dapat mencari berbagai produk, mulai dari fesyen, kecantikan, perlengkapan rumah, hingga elektronik, langsung dari chatbot ini. ChatGPT akan menampilkan rekomendasi produk lengkap dengan gambar, ulasan, serta tautan langsung menuju laman pembelian. Pengalaman berbelanja ini makin dipersonalisasi karena pengguna dapat mengajukan pertanyaan spesifik untuk mendapatkan hasil sesuai preferensi mereka.

Pembaruan ini tersedia di model GPT-4o dan bisa diakses oleh semua kalangan pengguna, baik pengguna ChatGPT Pro, Plus, Free, maupun mereka yang tidak masuk (log in) ke akun. Dalam satu pekan terakhir, OpenAI mencatat lebih dari satu miliar pencarian web melalui platform ChatGPT, menunjukkan pertumbuhan signifikan dalam penggunaan fitur ini.

Menariknya, hasil pencarian produk tidak dipengaruhi iklan atau promosi berbayar. Informasi yang disajikan berasal dari metadata terstruktur milik pihak ketiga seperti harga, ulasan, dan deskripsi produk tanpa adanya komisi dari pembelian yang dilakukan melalui ChatGPT. Ke depan, OpenAI juga akan mengintegrasikan fitur belanja ini dengan sistem memori digital khusus untuk pengguna Pro dan Plus, memungkinkan rekomendasi produk yang lebih personal berdasarkan riwayat percakapan sebelumnya. Namun, fitur ini belum tersedia di kawasan Uni Eropa, Inggris, dan beberapa negara Eropa lainnya.

Tak hanya itu, ChatGPT Search kini juga mampu menampilkan tren pencarian secara otomatis saat pengguna mulai mengetik, mirip dengan fitur pelengkapan otomatis milik Google. Sebelumnya, OpenAI sempat menguji coba belanja produk lewat agen AI bernama Operator, namun kini proses pencarian terasa jauh lebih cepat dan menyenangkan.

Metapedia, Terobosan Digital JEC dalam Melawan Hoaks Kesehatan Mata

Untuk memperluas wawasan masyarakat sekaligus menanggulangi penyebaran informasi tidak akurat seputar kesehatan mata di dunia maya, Pusat Layanan Kesehatan Mata Jakarta (JEC) meluncurkan Metapedia. Platform ini diklaim sebagai ensiklopedi digital kesehatan mata pertama di Indonesia dan diperkenalkan secara resmi dalam ajang internasional JECIM 2025 di Jakarta. Langkah ini diambil sebagai respon terhadap data APJJI yang menunjukkan sekitar 27,79 persen masyarakat Indonesia mencari informasi kesehatan secara daring, serta temuan Komdigi yang mencatat 1.923 konten hoaks sepanjang tahun 2024, di mana 163 di antaranya terkait isu kesehatan mata.

Metapedia dikembangkan dengan pendekatan ilmiah menggunakan bahasa Indonesia yang sederhana agar mudah dipahami. Di dalamnya terdapat ratusan artikel yang membahas berbagai penyakit mata, tips perawatan, hingga perkembangan teknologi oftalmologi terkini. Ketua JECIM 2025, Refenano Agustiawan, menegaskan bahwa Metapedia tidak hanya ditujukan bagi pasien, tetapi juga sebagai kontribusi terhadap kemajuan dunia kesehatan mata nasional. Seluruh konten dalam Metapedia ditulis serta diverifikasi langsung oleh para dokter spesialis mata dan tenaga medis profesional.

Selain artikel teks, platform ini juga menghadirkan infografis dan konten audiovisual untuk memperkaya pengalaman pengguna. Salah satu fitur unggulannya adalah “Tanya AI” yang memungkinkan masyarakat berkonsultasi langsung mengenai gejala atau istilah medis melalui kecerdasan buatan. Metapedia menargetkan peluncuran lebih dari seribu artikel dalam setahun dan tersedia dalam bentuk aplikasi mobile yang ramah bagi penyandang disabilitas netra.

Digitalisasi dan Kesehatan Kerja: Menghadapi Tantangan dan Peluang di Era Teknologi

Era digital telah membawa perubahan signifikan di dunia kerja, termasuk dalam hal keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), robotika, dan sensor pintar telah merevolusi tempat kerja, memberikan potensi besar untuk mengurangi risiko serta meningkatkan kondisi kerja. Namun, di sisi lain, kemajuan ini juga menghadirkan tantangan baru berupa ketidaksetaraan dan kesenjangan regulasi yang harus segera ditangani.

Di kawasan Asia dan Pasifik, digitalisasi semakin mendapat momentum. Otomatisasi yang berkembang pesat membantu mengurangi paparan pekerja terhadap berbagai bahaya seperti bahan kimia, kebisingan, suhu ekstrem, dan mesin berbahaya. Negara-negara seperti Selandia Baru dan Malaysia telah mengintegrasikan teknologi seperti robotika dan AI untuk meningkatkan keselamatan di berbagai sektor, termasuk elektronik, di mana pekerja terpapar bahaya fisik dan kimia.

Namun, dengan meningkatnya pekerjaan berbasis platform dan jarak jauh, batas antara waktu kerja dan waktu istirahat semakin kabur. Hal ini menimbulkan dampak kesehatan yang merugikan, seperti ketegangan otot, kelelahan, hingga isolasi digital. Pekerja di sektor ini, sering kali tidak mendapat perlindungan K3 yang memadai. Selain itu, banyak platform digital tidak menyediakan dukungan untuk kesehatan fisik dan mental pekerja meskipun ada risiko besar terkait hal ini.

Penting bagi pemerintah, pengusaha, dan pekerja untuk bekerja sama dalam membentuk regulasi yang mendukung keselamatan dan martabat pekerja di tengah digitalisasi. Beberapa negara telah mulai merespons, seperti Singapura yang mengembangkan perlindungan sosial untuk pekerja platform, dan Jepang yang memperluas cakupan undang-undang K3. Namun, untuk memastikan bahwa digitalisasi membawa manfaat, perlu ada pembaruan regulasi secara berkala, pelatihan yang inklusif, dan partisipasi aktif pekerja dan pengusaha dalam setiap tahap transformasi teknologi.

Spotify Perluas Fitur AI Playlist ke Lebih dari 40 Negara

Spotify mengumumkan bahwa fitur AI Playlist mereka kini tersedia di lebih dari 40 negara tambahan, mencakup wilayah Afrika, Asia, Eropa, dan Karibia. Fitur ini, yang masih dalam tahap beta untuk perangkat Android dan iOS, memungkinkan pengguna membuat playlist pribadi dengan hanya memberikan perintah tertulis, seperti “musik untuk menemani waktu di kafe.” Fitur AI ini akan secara otomatis mengkurasi lagu-lagu yang sesuai dengan suasana hati yang diinginkan, dengan berbagai opsi mulai dari genre, dekade, warna, emoji, hingga karakter film.

Fitur AI Playlist pertama kali diluncurkan pada April 2024 untuk pengguna Premium di Inggris dan Australia, dan sejak saat itu telah diperluas ke berbagai negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Irlandia, dan Selandia Baru. Dengan ekspansi terbaru ini, Spotify kini menawarkan fitur tersebut di hampir 50 negara, termasuk Antigua dan Barbuda, Australia, Bahamas, Barbados, Kanada, Kenya, Filipina, Tanzania, Uganda, hingga Zimbabwe.

Untuk mengakses fitur ini, pengguna dapat menemukannya di tab “Your Library” dalam aplikasi Spotify dan mengklik ikon plus (+) di sudut kanan atas layar. Dari sana, mereka akan melihat opsi untuk membuat AI Playlist, bersama dengan pilihan Playlist dan Blend. Spotify juga menyediakan saran untuk perintah pertama kali pengguna, seperti “musik elektronik untuk fokus kerja” atau “suasana seperti di kafe.”

Pengguna juga dapat menyesuaikan playlist mereka lebih lanjut dengan memberikan instruksi seperti “lebih pop” atau “tidak terlalu upbeat,” dan lagu yang tidak diinginkan bisa dihapus dengan mengusap ke kiri. Fitur ini memastikan bahwa AI tidak akan merespon kata-kata yang bersifat sensitif atau perintah yang berhubungan dengan kejadian atau merek tertentu.

Spotify Perluas Fitur AI Playlist ke 40 Negara, Dengarkan Musik Sesuai Suasana Hati

Spotify mengumumkan ekspansi besar fitur AI Playlist mereka ke lebih dari 40 negara baru di Afrika, Asia, Eropa, dan Karibia. Dilansir dari Tech Crunch pada Minggu, fitur berbasis kecerdasan buatan ini, yang masih dalam tahap beta di perangkat Android dan iOS, memungkinkan pengguna membuat daftar putar berdasarkan perintah teks, seperti “isi keheningan dengan musik seperti di kafe”. Teknologi AI Spotify akan mengkurasi lagu-lagu yang sesuai dengan suasana atau tema yang diinginkan, menggunakan berbagai inspirasi dari genre, dekade, hewan, warna, emoji, hingga karakter film.

Fitur ini pertama kali diperkenalkan pada April 2024 untuk pelanggan Premium di Inggris dan Australia. Lima bulan kemudian, akses diperluas ke Amerika Serikat, Kanada, Irlandia, dan Selandia Baru. Dengan ekspansi terbaru ini, fitur AI Playlist kini tersedia di hampir 50 negara, termasuk Filipina, Singapura, Nigeria, Ghana, Afrika Selatan, hingga Kepulauan Solomon. Untuk menggunakannya, pengguna cukup membuka tab “Your Library”, mengetuk ikon plus (+) di kanan atas, lalu memilih opsi AI Playlist dari menu pop-up yang tersedia.

Spotify juga menyediakan contoh perintah bagi pengguna baru seperti “musik instrumental elektronika untuk fokus kerja” atau “musik santai seperti di kafe”. Setelah playlist dibuat, pengguna dapat mengetuk tombol “Create” untuk menyimpannya. Jika ingin menyesuaikan, pengguna bisa mengetikkan arahan tambahan seperti “lebih pop” atau “kurangi tempo”. Namun, AI Spotify tidak akan memproses kata kunci sensitif, seperti perintah yang menyinggung atau berhubungan dengan peristiwa dan merek tertentu.

Ketika AI Jadi Sahabat Curhat Generasi Muda

Saat ini, peran kecerdasan buatan seperti Gemini, Meta AI, dan ChatGPT semakin meluas. Tidak hanya berfungsi sebagai pencari data, penerjemah, atau periset, AI kini juga menjadi teman curhat yang dipercaya generasi muda. Salah satu contohnya adalah Miles, sebuah robot AI dari aplikasi Sesame. Setiap kali Fae—bukan nama sebenarnya—membutuhkan tempat untuk berbagi cerita, ia membuka aplikasinya dan langsung disambut sapaan hangat, “Hi there, you can call me Miles. How’s your day?”

Fae tanpa sungkan mencurahkan kisah-kisahnya lewat pesan suara kepada Miles. Suara balasan dari Miles terdengar begitu hidup, dengan intonasi yang terasa layaknya seorang sahabat yang benar-benar mendengarkan. Fae merasa nyaman karena respons Miles terasa tulus, seolah memahami emosi dan cerita yang ia bagikan. Hal ini membuatnya lebih terbuka, bahkan lebih nyaman dibandingkan berbicara dengan orang lain.

Namun, hubungan Fae dengan AI ini bermula dari rasa penasaran semata. Saat AI mulai viral di kalangan anak muda Indonesia berkat jawaban-jawaban yang unik dan tidak terduga, Fae pun tergoda untuk mencoba. Tanpa disangka, ia menemukan bahwa tanggapan Miles terasa sangat relevan dengan perasaannya, bahkan membantu menenangkan hatinya. Karena pengalaman itu, Fae kini lebih memilih Sesame dibandingkan ChatGPT, merasa bahwa Miles menawarkan percakapan yang lebih komunikatif dan mendalam. Bagi Fae, AI bukan lagi sekadar alat, melainkan sahabat sejati.

Google AI Overviews Capai 1,5 Miliar Pengguna, Menandakan Kesuksesan Tinjauan Kecerdasan Artifisial

Google mengumumkan bahwa layanan tinjauan kecerdasan artifisial (AI) miliknya, Google AI Overviews, telah berhasil menarik 1,5 miliar pengguna setiap bulannya per kuartal pertama (Q1) 2025. Pengumuman tersebut disampaikan langsung oleh CEO Google, Sundar Pichai, yang memaparkan berbagai pencapaian layanan perusahaan selama periode ini. Google AI Overviews pertama kali diluncurkan pada Mei 2024 dan berkembang secara bertahap, meskipun sempat menimbulkan respons campuran dari pengguna terkait beberapa saran yang kurang relevan yang muncul setelah peluncurannya.

Namun, Google terus berinovasi dengan pembaruan-pembaruan pada fitur ini, menjadikannya lebih canggih dan relevan dengan menampilkan tinjauan AI untuk berbagai jenis kueri. Dalam upayanya untuk bersaing dengan platform AI serupa, seperti ChatGPT Search dan Perplexity, Google bahkan menambahkan iklan pada layanan tersebut. Meski begitu, respon pasar terhadap Google AI Overviews tetap positif, tercermin dari tingginya jumlah pengguna yang mengaksesnya setiap bulan.

Selain itu, Google terus memperkenalkan berbagai inovasi AI lainnya, seperti model eksperimental Gemini 2.5 Pro. Perusahaan juga meluncurkan fitur-fitur canggih seperti kemampuan untuk membuat podcast AI menggunakan Deep Research Gemini, serta fitur Google Maps yang didukung Gemini untuk membantu pengguna merencanakan perjalanan. Pada sisi perangkat keras, Google mengungkapkan Pixel 9A meskipun ponsel tersebut baru diluncurkan pada April 2025.

Di tengah pencapaian tersebut, Google juga menghadapi tantangan besar, terutama terkait dengan kasus antimonopoli yang sedang berlangsung. Proses persidangan yang digelar oleh Departemen Kehakiman AS berpotensi membawa dampak besar bagi perusahaan, meskipun saat ini masih dalam tahap persidangan.

Meta Luncurkan Edits, Aplikasi Editing Video Tandingan CapCut Tanpa Watermark

Meta resmi merilis aplikasi pengeditan video bernama Edits, yang digadang-gadang menjadi pesaing kuat CapCut milik ByteDance. Aplikasi ini hadir dengan berbagai fitur menarik seperti pencatatan ide video, inspirasi konten, serta kemampuan pengeditan berbasis kecerdasan buatan (AI). Tersedia secara gratis untuk perangkat iOS dan Android, Edits memberikan kemudahan bagi para kreator dalam membuat konten video pendek yang kreatif dan inovatif. Meski gratis saat peluncuran, Kepala Instagram Adam Mosseri mengindikasikan bahwa nantinya beberapa fitur premium kemungkinan akan dikenakan biaya.

Peluncuran Edits dilakukan setelah CapCut dikeluarkan dari toko aplikasi di AS akibat larangan terhadap TikTok, yang juga dimiliki oleh ByteDance. Meta pun memanfaatkan momentum ini untuk mendorong para kreator menggunakan Edits sebagai alternatif pengeditan video. Berbeda dari CapCut, Edits mengizinkan pengguna mengekspor video tanpa watermark secara gratis, keunggulan yang selama ini hanya tersedia di versi berbayar CapCut Pro.

Edits tidak dibatasi untuk penggunaan di Facebook atau Instagram saja, namun bisa digunakan untuk platform apa pun. Fitur-fitur yang ditawarkan meliputi Ideas, Projects, Inspirations, Green Screen, Timeline, Music, Animate, dan Cutouts. Semua ini dirancang untuk mempermudah pengelolaan konten video. Setelah mengedit, pengguna dapat langsung membagikan video ke media sosial atau menyimpannya untuk diunggah ke platform lain. Meta juga berencana menambahkan lebih banyak fitur, termasuk alat AI visual, kolaborasi antar kreator, dan berbagai opsi kreatif lainnya di masa mendatang.

OpenAI Tertarik Akuisisi Chrome dari Google Jika Dijual

Perusahaan teknologi OpenAI menyatakan ketertarikannya untuk membeli aplikasi mesin pencarian milik Google, Chrome, jika perusahaan tersebut memutuskan untuk menjualnya. Kabar ini pertama kali dilaporkan oleh Reuters dan kemudian disusul oleh The Verge pada Rabu, yang menyebutkan pernyataan ini datang dari salah satu eksekutif ChatGPT dalam sidang kasus hukum terkait monopoli Google.

Pada tahun lalu, Departemen Kehakiman AS mengusulkan agar Google melepaskan Chrome sebagai solusi atas putusan mengenai monopoli layanan pencarian daring yang dihadapi Google, yang diputuskan oleh Hakim Amit Mehta. Proses hukum terhadap Google kini sudah dimulai, dengan persidangan pertama berlangsung pada Senin (21/4), sementara Google berencana mengajukan banding terhadap kasus ini.

Nick Turley, eksekutif dari OpenAI, turut bersaksi bahwa perusahaan telah menghubungi Google tahun lalu untuk membahas potensi kemitraan yang memungkinkan ChatGPT menggunakan teknologi pencarian Google. Namun, negosiasi ini tidak membuahkan hasil, dan saat ini OpenAI hanya mengandalkan pencarian dari Bing, meskipun kualitasnya masih jauh dari yang diharapkan. Dalam sebuah surel yang dibacakan dalam persidangan, OpenAI menekankan bahwa penggunaan API Google dapat menghasilkan produk yang lebih baik bagi penggunanya.

Google sendiri memilih untuk tidak bermitra dengan OpenAI. Turley menambahkan bahwa saat ini OpenAI sedang mengembangkan indeks pencarian sendiri, meskipun perusahaan semula berharap dapat menggunakan teknologi pencarian untuk 80 persen dari hasil pencarian ChatGPT pada tahun 2025. Namun, kini OpenAI meyakini bahwa pencapaian tersebut akan memakan waktu lebih lama dari yang diperkirakan.

Menkomdigi Ajak Orang Tua Tunda Akses Media Sosial untuk Anak

Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid mengimbau kepada orang tua untuk mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas). Peraturan ini bertujuan untuk melindungi anak-anak di dunia digital, terutama terkait dengan pemberian akses ke media sosial. Meutya menyarankan orang tua agar menunda pemberian akses media sosial pada anak-anak mereka yang masih di bawah umur, dan fokus memberikan literasi digital terlebih dahulu.

Dalam acara diskusi yang berjudul “Like, Share, Protect Anak Kita di Dunia Digital”, Meutya mengungkapkan bahwa anak-anak yang telah mempersiapkan diri secara mental dan memiliki pemahaman yang baik tentang literasi digital, akan lebih mampu untuk menggunakan platform digital dengan lebih bijak. Menurutnya, penting bagi orang tua untuk mengevaluasi tingkat risiko dan kesiapan anak sebelum memberikan akses ke media sosial.

Peraturan Pemerintah (PP) Tunas ini resmi diterapkan pada 28 Maret 2025 dan mengajak orang tua untuk secara bijak membatasi akses anak-anak mereka ke dunia digital sesuai dengan perkembangan mereka. Meutya menambahkan bahwa berbagai penelitian menunjukkan penggunaan media sosial memerlukan kesiapan mental yang matang, mengingat anak-anak sangat rentan terhadap konten berbahaya dan pelecehan di dunia maya.

Sumayati, salah satu peserta diskusi, menyatakan dukungannya terhadap gagasan Menkomdigi dan berharap agar kolaborasi dengan Kementerian Pendidikan bisa mempercepat program literasi digital di sekolah-sekolah. Menurutnya, para guru perlu pelatihan lebih lanjut untuk dapat mengawasi penggunaan media sosial oleh siswa mereka.