Aurel Hermansyah mengungkapkan pengalaman pahitnya menghadapi perundungan selama masa kehamilan. Hal ini diutarakannya dalam acara Breastfeeding Fest 2025, yang berlangsung di Jakarta Selatan pada Sabtu (8/3/2025). Dalam kesempatan tersebut, Aurel mengaku mengalami trauma akibat komentar negatif di media sosial yang menyerangnya saat sedang mengandung.
“Ketika saya hamil, saya merasa kok banyak sekali orang yang bully, banyak kata-kata yang sangat menyakitkan bagi saya,” ungkap Aurel saat berbicara dengan Ustaz Hilman Fauzi dalam acara tersebut.
Trauma yang Masih Membayangi
Dalam kesempatan itu, Aurel juga meminta saran dari Ustaz Hilman mengenai cara mengatasi trauma yang dialaminya agar bisa lebih kuat menghadapi kehamilan di masa depan.
“Apakah ada masukan untuk saya supaya bisa menghilangkan rasa trauma ini? Walaupun saya sendiri merasa tidak seharusnya seorang ibu mengalami trauma karena kehamilan,” ucapnya dengan penuh harap.
Sebagai seorang publik figur, putri sulung Anang Hermansyah ini mengaku sulit menghadapi komentar negatif yang bertebaran di media sosial. Kata-kata kasar dan hinaan yang diterimanya membuatnya merasa terpuruk hingga berdampak pada kepercayaan dirinya.
Dampak Perundungan pada Aurel Hermansyah
Perundungan yang dialami Aurel bukanlah hal baru. Sejak kehamilan pertamanya dengan Ameena, ia kerap menjadi sasaran komentar pedas netizen. Akibatnya, Aurel sempat merasa kehilangan kepercayaan diri untuk kembali ke dunia tarik suara. Bahkan, tekanan tersebut membuatnya ragu dalam menjalani perannya sebagai ibu, hingga pada satu titik ia merasa enggan untuk menyusui anaknya sendiri.
Pengalaman ini menunjukkan bagaimana perundungan di media sosial dapat berdampak besar, tidak hanya secara mental tetapi juga pada kehidupan pribadi seseorang. Meski begitu, Aurel tetap berusaha untuk bangkit dan mencari cara agar dapat menghadapi tekanan tersebut dengan lebih baik di masa mendatang.
Kisah Aurel menjadi pengingat bagi banyak orang tentang pentingnya menjaga empati dan bijak dalam berkomentar di media sosial. Sebab, kata-kata yang tampaknya sepele bagi satu pihak, bisa menjadi luka mendalam bagi pihak lain.