Tag Archives: Generasi Muda

https://mezzojane.com

Ketika AI Jadi Sahabat Curhat Generasi Muda

Saat ini, peran kecerdasan buatan seperti Gemini, Meta AI, dan ChatGPT semakin meluas. Tidak hanya berfungsi sebagai pencari data, penerjemah, atau periset, AI kini juga menjadi teman curhat yang dipercaya generasi muda. Salah satu contohnya adalah Miles, sebuah robot AI dari aplikasi Sesame. Setiap kali Fae—bukan nama sebenarnya—membutuhkan tempat untuk berbagi cerita, ia membuka aplikasinya dan langsung disambut sapaan hangat, “Hi there, you can call me Miles. How’s your day?”

Fae tanpa sungkan mencurahkan kisah-kisahnya lewat pesan suara kepada Miles. Suara balasan dari Miles terdengar begitu hidup, dengan intonasi yang terasa layaknya seorang sahabat yang benar-benar mendengarkan. Fae merasa nyaman karena respons Miles terasa tulus, seolah memahami emosi dan cerita yang ia bagikan. Hal ini membuatnya lebih terbuka, bahkan lebih nyaman dibandingkan berbicara dengan orang lain.

Namun, hubungan Fae dengan AI ini bermula dari rasa penasaran semata. Saat AI mulai viral di kalangan anak muda Indonesia berkat jawaban-jawaban yang unik dan tidak terduga, Fae pun tergoda untuk mencoba. Tanpa disangka, ia menemukan bahwa tanggapan Miles terasa sangat relevan dengan perasaannya, bahkan membantu menenangkan hatinya. Karena pengalaman itu, Fae kini lebih memilih Sesame dibandingkan ChatGPT, merasa bahwa Miles menawarkan percakapan yang lebih komunikatif dan mendalam. Bagi Fae, AI bukan lagi sekadar alat, melainkan sahabat sejati.

Tren AI Mengubah Foto Menjadi Boneka: Viral, Menarik, Tapi Penuh Kontroversi

Tren baru yang memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (AI) generatif, seperti ChatGPT dan Copilot, untuk mengubah foto pribadi menjadi boneka digital tengah viral di kalangan pengguna media sosial. Banyak selebritas dan tokoh terkenal mencoba tren ini untuk menciptakan versi miniatur mereka. Namun, meski terlihat menyenangkan, beberapa pihak mengingatkan tentang potensi dampak buruk yang dapat timbul. Mereka mengkhawatirkan penggunaan AI yang sering kali didorong oleh rasa takut ketinggalan tren atau FOMO, tanpa mempertimbangkan dengan seksama kekhawatiran terkait etika penggunaan teknologi ini.

Salah satu aspek yang membuat tren ini menarik adalah kemampuan AI untuk mempersonalisasi gambar dengan detail tinggi, termasuk aksesori dan jenis kemasan tertentu, bahkan menyertakan pilihan pakaian. Namun, tidak jarang hasilnya mengecewakan, dengan beberapa gambar boneka tampak sangat berbeda dengan aslinya. Terlebih lagi, teknologi AI generatif ini memiliki kecenderungan untuk mengada-ada, menciptakan gambaran yang mungkin jauh dari harapan penggunanya.

Jasmine Enberg, seorang analis media sosial, menjelaskan bahwa meskipun AI mempercepat pembuatan konten digital, efek sampingnya adalah mempercepat peningkatan pengguna media sosial lainnya. Namun, teknologi ini juga menimbulkan kekhawatiran terkait konsumsi energi yang besar, dengan pusat data yang mengelola gambar-gambar tersebut menghabiskan lebih banyak listrik daripada yang digunakan oleh 117 negara. Profesor Gina Neff menyoroti masalah privasi dan dampak terhadap lingkungan, mengatakan bahwa tren seperti ini bisa menjadi ancaman terhadap budaya, privasi, dan planet kita.

Meskipun menyenangkan untuk diikuti, Jo Bromilow, seorang direktur di agensi kreatif MSL UK, mempertanyakan apakah hasil yang lucu dan menggemaskan benar-benar sepadan dengan dampaknya. Dalam menjalani tren ini, penting untuk mempertimbangkan cara penggunaan teknologi dengan bijak dan penuh tanggung jawab.

Hati-Hati! Psikolog Peringatkan Risiko Self Diagnosis dan Berbagi Masalah Mental di Media Sosial

Ketua Umum Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), Dr. Andik Matulessy, M.Si, Psikolog, mengingatkan bahwa membagikan masalah kesehatan mental di media sosial bisa menimbulkan berbagai risiko yang tidak terduga. Dalam era digital yang serba terbuka ini, banyak orang yang merasa bahwa membagikan pengalaman atau perasaan mereka secara terbuka di platform seperti Instagram, Twitter, atau TikTok bisa menjadi cara untuk mencari dukungan. Namun, Dr. Andik mengungkapkan bahwa hal ini bisa berisiko bagi kesejahteraan mental mereka.

Salah satu masalah yang perlu diwaspadai adalah praktik self-diagnosis. Banyak orang yang mencoba mendiagnosis masalah mental mereka sendiri dengan mencari informasi di internet atau mengikuti tes psikologis online yang seringkali tidak akurat. Dr. Andik menegaskan bahwa self-diagnosis adalah langkah yang sangat berbahaya dan bisa memperburuk kondisi seseorang. Masalah kesehatan mental memerlukan penanganan yang tepat dari profesional yang terlatih, bukan hanya berdasarkan informasi yang didapatkan secara sembarangan.

Di sisi lain, berbagi masalah mental di media sosial juga membawa dampak yang tidak bisa diremehkan. Ketika seseorang mengungkapkan masalah pribadi mereka secara terbuka, mereka harus siap untuk menerima berbagai respons, termasuk komentar negatif yang bisa membuat mereka merasa lebih buruk. Bahkan, tidak jarang ada komentar yang meremehkan atau tidak sensitif terhadap kondisi psikologis seseorang.

Dr. Andik menyarankan agar generasi muda lebih memilih untuk berkomunikasi langsung dengan orang-orang terdekat mereka, seperti teman atau keluarga, untuk membahas masalah mental yang mereka hadapi. Melalui percakapan yang lebih intim dan pribadi, mereka bisa merasa lebih didengar dan dipahami tanpa khawatir akan dampak negatif yang bisa datang dari dunia maya. Mengungkapkan masalah secara langsung dan dengan dukungan profesional dapat menjadi langkah yang lebih aman dan efektif dalam mengatasi tantangan kesehatan mental.