Era digital telah membawa perubahan signifikan di dunia kerja, termasuk dalam hal keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), robotika, dan sensor pintar telah merevolusi tempat kerja, memberikan potensi besar untuk mengurangi risiko serta meningkatkan kondisi kerja. Namun, di sisi lain, kemajuan ini juga menghadirkan tantangan baru berupa ketidaksetaraan dan kesenjangan regulasi yang harus segera ditangani.
Di kawasan Asia dan Pasifik, digitalisasi semakin mendapat momentum. Otomatisasi yang berkembang pesat membantu mengurangi paparan pekerja terhadap berbagai bahaya seperti bahan kimia, kebisingan, suhu ekstrem, dan mesin berbahaya. Negara-negara seperti Selandia Baru dan Malaysia telah mengintegrasikan teknologi seperti robotika dan AI untuk meningkatkan keselamatan di berbagai sektor, termasuk elektronik, di mana pekerja terpapar bahaya fisik dan kimia.
Namun, dengan meningkatnya pekerjaan berbasis platform dan jarak jauh, batas antara waktu kerja dan waktu istirahat semakin kabur. Hal ini menimbulkan dampak kesehatan yang merugikan, seperti ketegangan otot, kelelahan, hingga isolasi digital. Pekerja di sektor ini, sering kali tidak mendapat perlindungan K3 yang memadai. Selain itu, banyak platform digital tidak menyediakan dukungan untuk kesehatan fisik dan mental pekerja meskipun ada risiko besar terkait hal ini.
Penting bagi pemerintah, pengusaha, dan pekerja untuk bekerja sama dalam membentuk regulasi yang mendukung keselamatan dan martabat pekerja di tengah digitalisasi. Beberapa negara telah mulai merespons, seperti Singapura yang mengembangkan perlindungan sosial untuk pekerja platform, dan Jepang yang memperluas cakupan undang-undang K3. Namun, untuk memastikan bahwa digitalisasi membawa manfaat, perlu ada pembaruan regulasi secara berkala, pelatihan yang inklusif, dan partisipasi aktif pekerja dan pengusaha dalam setiap tahap transformasi teknologi.