Pada 26 Desember 2024, fenomena schadenfreude — rasa senang atau puas ketika melihat penderitaan orang lain — semakin diperburuk oleh kecanggihan media sosial. Platform seperti Facebook, Instagram, dan Twitter sering kali menjadi tempat untuk mengekspresikan berbagai reaksi terhadap kejadian-kejadian negatif yang menimpa individu atau kelompok lain. Hal ini membuka diskusi penting mengenai dampak psikologis media sosial terhadap masyarakat, terutama dalam memperburuk rasa schadenfreude.
Schadenfreude merupakan istilah Jerman yang merujuk pada perasaan senang melihat kesedihan atau kesulitan orang lain. Di era digital ini, media sosial menyediakan platform yang memungkinkan orang untuk lebih mudah mengakses dan menanggapi kejadian-kejadian buruk yang dialami oleh orang lain, sering kali dengan respons yang tidak empatik. Ini memperburuk kecenderungan manusia untuk merasakan kepuasan atas penderitaan orang lain.
Media sosial cenderung mempercepat penyebaran berita negatif atau kontroversial yang dapat menimbulkan reaksi beragam. Ketika sebuah kejadian buruk atau kegagalan seseorang dibagikan di platform tersebut, ada kecenderungan bagi sebagian pengguna untuk menikmati atau bahkan berkomentar dengan nada mengejek. Hal ini sering kali menumbuhkan rasa schadenfreude yang lebih besar, karena perasaan senang melihat orang lain jatuh atau gagal lebih mudah dilihat dan didiskusikan secara terbuka.
Salah satu faktor yang memperburuk perasaan schadenfreude di media sosial adalah anonimitas yang ditawarkan oleh platform tersebut. Pengguna sering kali merasa lebih bebas untuk mengungkapkan perasaan negatif mereka terhadap orang lain karena mereka tidak berhadapan langsung dengan orang yang mereka kritik. Ditambah dengan fenomena distant sociality, yaitu jarak emosional yang tercipta ketika seseorang hanya berinteraksi melalui layar, ini membuat empati terhadap orang yang menderita menjadi lebih sulit.
Media sosial juga memotivasi orang untuk mendapatkan lebih banyak perhatian melalui postingan yang mengundang reaksi beragam. Banyak pengguna media sosial yang mengungkapkan komentar negatif atau bahkan merasa senang atas penderitaan orang lain untuk mendapatkan “likes” atau komentar yang setuju. Hal ini semakin memperburuk rasa schadenfreude karena individu merasa bahwa mengolok-olok kesalahan atau penderitaan orang lain bisa memberi mereka validasi sosial.
Dampak dari peningkatan rasa schadenfreude di media sosial sangat terasa dalam masyarakat. Rasa puas yang timbul dari melihat orang lain gagal atau jatuh bisa memperburuk pola pikir sosial yang lebih individualistis dan kurang empatik. Selain itu, ini dapat menurunkan kualitas interaksi sosial dan membentuk sikap masyarakat yang lebih permisif terhadap perilaku negatif atau merugikan orang lain. Efek jangka panjangnya bisa sangat merusak, karena mengurangi solidaritas sosial yang penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil dan empatik.
Media sosial telah memperburuk rasa schadenfreude dalam masyarakat dengan menyediakan platform untuk berbagi berita buruk secara cepat dan luas, serta memfasilitasi anonimitas yang mengurangi rasa empati. Hal ini menumbuhkan budaya di mana kebahagiaan orang sering kali tergantung pada kegagalan orang lain. Masyarakat perlu lebih waspada terhadap dampak negatif media sosial ini dan berusaha menciptakan ruang di mana empati dan rasa saling mendukung lebih dihargai daripada sekadar mencari sensasi dari penderitaan orang lain.