Menjelang Festival Qingming, saat masyarakat Tiongkok berziarah dan merawat makam leluhur, Zhang Ming merasakan kehangatan emosional yang tak terduga. Berkat teknologi kecerdasan buatan, ia bisa kembali berbincang dengan mendiang kakeknya melalui avatar digital yang menyerupai manusia. Menggunakan aplikasi Lingyu atau “Pertemuan Spiritual”, Zhang menciptakan replika virtual sang kakek dengan mengunggah foto, suara, dan informasi latar belakang. Teknologi ini membentuk avatar yang tidak hanya menyerupai secara visual, tetapi juga bisa berbicara dalam dialek lokal dan berekspresi secara emosional. “Rasanya seperti berbicara dengannya lagi,” ujar Zhang, menggambarkan pengalaman yang mengharukan. Bagi banyak keluarga, kemajuan ini menjadi pelipur lara modern, memungkinkan mereka untuk merasa dekat kembali dengan orang-orang tercinta yang telah tiada. Popularitas avatar AI ini melonjak setelah sebuah acara TV memperlihatkan simulasi interaktif antara seorang selebritas dan mendiang mertuanya, yang memicu tangis haru sang istri. Meskipun teknologi ini menawarkan kenyamanan emosional, ada pula kekhawatiran akan dampaknya terhadap kondisi mental dan privasi pengguna. Pakar hukum menyoroti risiko penyalahgunaan data pribadi dan potensi pencemaran nama baik jika tidak diawasi dengan ketat. Pemerintah Tiongkok telah menerapkan berbagai regulasi untuk mengendalikan teknologi ini, namun para ahli menilai pengawasan dan etika dalam penggunaannya perlu terus disesuaikan dengan perkembangan. Di tengah kemajuan ini, harapannya tetap satu: agar teknologi tetap menjadi penghubung rasa, bukan pengabur kenyataan.
