Tag Archives: AI

https://mezzojane.com

Pengaruh AI pada Otak Manusia: Apakah Kita Jadi Makin Pintar atau Malas Berpikir?

Penggunaan kecerdasan buatan (AI) yang semakin meluas di dunia kerja dapat membawa dampak positif, namun sebuah riset terbaru mengungkapkan bahwa kecanduan terhadap teknologi ini ternyata bisa menurunkan kemampuan berpikir kritis seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Microsoft bekerja sama dengan Carnegie Mellon University mengungkapkan bahwa terlalu sering mengandalkan AI dalam menyelesaikan tugas-tugas profesional dapat berisiko membuat otak menjadi “tumpul.”

Penelitian ini melibatkan 319 pekerja yang sehari-harinya berhubungan dengan pengolahan data dan informasi. Para peneliti meminta peserta untuk memberikan laporan mengenai bagaimana mereka memanfaatkan AI dalam pekerjaan mereka, mulai dari tingkat kepercayaan terhadap hasil yang diberikan AI, cara mereka mengevaluasi jawaban AI, hingga keyakinan mereka untuk menyelesaikan tugas tanpa bantuan AI.

Hasil riset menunjukkan pola menarik. Pertama, para pekerja yang semakin mempercayai kemampuan AI justru semakin jarang mengevaluasi atau mengawasi hasil jawaban dari AI tersebut. Hal ini terutama terlihat pada tugas-tugas yang dianggap mudah atau berisiko rendah. Banyak pekerja yang merasa bahwa menggunakan AI adalah cara yang efisien dan menganggap bahwa AI sudah cukup mampu menyelesaikan tugas tersebut. Beberapa di antara mereka bahkan merasa bahwa memanfaatkan AI dengan optimal adalah bagian dari keterampilan berpikir kritis mereka.

Namun, para peneliti memberi peringatan bahwa kebiasaan ini, meskipun tampak tidak berbahaya, dapat berakibat buruk dalam jangka panjang. Ketergantungan yang berlebihan pada AI dapat mengurangi kemampuan pekerja untuk menyelesaikan masalah secara mandiri dan memperlemah keterampilan berpikir kritis mereka. Dalam kata lain, penggunaan AI tanpa disertai evaluasi atau pertimbangan diri bisa membuat otak manusia “tumpul,” karena otak tidak lagi dilatih untuk berpikir secara mandiri.

Di sisi lain, ketika para pekerja merasa kurang yakin dengan hasil yang diberikan AI, mereka justru lebih sering melatih keterampilan berpikir kritis mereka. Pekerja yang merasa perlu memeriksa dan memperbaiki hasil AI secara aktif cenderung lebih percaya diri dalam menyelesaikan masalah secara mandiri.

Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa AI cenderung memberikan jawaban yang konsisten dan homogen, karena teknologi ini bekerja berdasarkan data yang telah dilatih sebelumnya. AI tidak dapat menciptakan ide-ide baru secara bebas, dan jika terlalu sering digunakan tanpa tambahan input manusia, hasil yang diberikan cenderung seragam. Hal ini bisa menyebabkan kurangnya kreativitas dan pemikiran baru, yang merupakan inti dari keterampilan berpikir kritis.

Sebagai kesimpulan, meskipun AI dapat meningkatkan efisiensi kerja, riset ini mengingatkan kita bahwa penggunaannya yang berlebihan tanpa pemikiran kritis dapat mengurangi kemampuan untuk berpikir secara mandiri dan kreatif. Oleh karena itu, penting bagi pekerja untuk tetap mempertahankan keterampilan berpikir kritis mereka meskipun memanfaatkan kemajuan teknologi.

Pakai HP Samsung? Cek Daftar 61 Model yang Dapat One UI 7

Samsung baru saja memperkenalkan One UI 7, sistem antarmuka terbaru yang debut bersama Galaxy S25 Series pada Januari 2025. Berbasis pada Android 15, One UI 7 membawa berbagai pembaruan yang menyempurnakan versi sebelumnya, One UI 6.1. Pembaruan ini tidak hanya memberikan pengalaman yang lebih mulus bagi pengguna, tetapi juga membawa perubahan signifikan pada animasi dan navigasi yang lebih lancar. Bagi pengguna Samsung lainnya, kabar baiknya adalah bahwa pembaruan One UI 7 juga akan tersedia untuk berbagai model ponsel Samsung lainnya, termasuk Galaxy S24 Series yang diluncurkan pada Januari 2024.

Sesuai dengan kebijakan Samsung, pembaruan One UI 7 akan tersedia untuk lebih dari 60 model smartphone Samsung, termasuk ponsel dari lini Galaxy S, Galaxy A, Galaxy Z Fold/Flip, Galaxy M, hingga tablet Galaxy Tab S yang diluncurkan pada 2024. Samsung sendiri berkomitmen memberikan setidaknya dua pembaruan OS utama untuk perangkat entry-level, sementara untuk perangkat mid-range dan flagship, pembaruan dapat mencapai empat kali update OS Android. Berdasarkan ketentuan ini, beberapa model seperti Galaxy S21 Series, Galaxy Z Flip 3, dan Galaxy Fold 4 yang diluncurkan pada 2022, diperkirakan akan menerima One UI 7.

Daftar Ponsel yang Akan Menerima One UI 7
Berdasarkan pola rilis, berikut adalah beberapa ponsel Samsung yang dipastikan mendapatkan pembaruan One UI 7:

  • Galaxy S24 Series (Ultra, Plus, Galaxy S24, FE)
  • Galaxy S23 Series (Ultra, Plus, Galaxy S23)
  • Galaxy Z Fold 6 dan Flip 6
  • Galaxy A Series (A73, A72, A55, A54, A53 5G, A35, A34, A33 5G, A25, A24, A23, A16 5G, A16, A15 5G, A15, A14 5G, A14, A06, A05s, A05)
  • Galaxy M Series (M55, M54, M53, M35, M34, M33, M15, M05, M14 5G, M14)
  • Galaxy F Series (F55, F54, F34, F23, F15, F14 5G)

Fitur Baru One UI 7
One UI 7 membawa sejumlah pembaruan menarik yang berfokus pada kelancaran animasi dan navigasi. Pengguna akan merasakan perbedaan signifikan pada transisi antar aplikasi dan tampilan antarmuka yang lebih halus. Quick Panel dan notifikasi kini hadir dengan desain baru yang lebih menarik dan lebih besar. Salah satu fitur baru yang menarik adalah Now Bar, yang menampilkan informasi penting seperti panggilan aktif, pemutaran musik, hingga pengaturan waktu, yang dapat diakses langsung dari lock screen.

Notifikasi dan Quick Panel juga dipisahkan menjadi dua layar terpisah. Pengguna dapat dengan mudah mengakses notifikasi dengan mengusap layar dari atas, sementara Quick Panel bisa diakses dari sudut kanan atas layar untuk kontrol pengaturan cepat. Selain itu, pengguna kini dapat menyesuaikan urutan kontrol di Quick Panel sesuai keinginan dan berganti antara kedua panel hanya dengan gesekan ke kanan atau kiri.

Dengan One UI 7, Samsung semakin memperkuat posisinya dalam memberikan pengalaman Android yang lebih mulus dan canggih. Pembaruan ini semakin menjadikan Galaxy Series pilihan utama bagi mereka yang menginginkan perangkat dengan teknologi terbaru dan pengalaman pengguna terbaik.

Indonesia di Ujung Digital: Apakah Kita Siap Menyambut Era Baru Teknologi?

Perkembangan teknologi terus melaju dengan pesat, membuka peluang baru di berbagai sektor, termasuk ekonomi digital. Tren ini menarik minat banyak orang untuk terjun ke industri teknologi sebagai jalur karier masa depan. Bahkan, pemerintah turut mendukung pertumbuhan ini dengan berbagai inisiatif dan kebijakan. Salah satu indikator pesatnya perkembangan ekonomi digital di Indonesia adalah proyeksi dari Google yang memperkirakan nilai ekonomi digital Indonesia akan mencapai 146 miliar dolar AS pada 2025.

Kita bisa melihat bukti nyata pertumbuhan ini dari semakin luasnya penggunaan dompet digital dan sistem pembayaran berbasis QRIS yang kini menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat. Dalam siniar Obsesif episode “Sinergi Komunitas dalam Ekosistem Digital”, Caron Toshiko, Head of Programmer Skilvul dan Markoding, membahas bagaimana perkembangan teknologi digital di Indonesia semakin berkembang dan apa saja yang diperlukan untuk memaksimalkan potensinya.

Peran SDM dalam Kemajuan Teknologi Digital

Caron, yang memiliki latar belakang dalam psikologi sosial, kini berperan sebagai penghubung antara para pelajar di berbagai daerah di Indonesia dengan program yang dikembangkan oleh Skilvul dan Markoding. Menurutnya, kunci utama bagi Indonesia untuk mencapai target digitalisasi terletak pada sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.

Jika Indonesia memiliki SDM yang unggul dalam teknologi, maka sektor-sektor lain, termasuk bisnis dan ekonomi, akan semakin berkembang. Salah satu buktinya adalah banyaknya startup lokal yang berhasil meraih status unicorn dalam beberapa tahun terakhir. “Anak muda adalah talenta digital masa kini dan masa depan. Mereka yang akan menentukan arah perkembangan dan kemajuan bangsa kita, terutama dalam bidang inovasi,” ujar Caron.

Ia juga mengungkapkan bahwa Indonesia saat ini memiliki jumlah publikasi ilmiah tentang kecerdasan buatan (AI) yang cukup tinggi, bahkan tertinggi di Asia Tenggara. AI diprediksi akan memberikan kontribusi hingga 366 miliar dolar AS terhadap perekonomian Indonesia pada 2030. Untuk mendukung perkembangan ini, pemerintah menargetkan kebutuhan sembilan juta talenta digital pada 2030, sekaligus menciptakan lebih dari 180 persen pekerjaan baru yang berbasis teknologi.

Peluang Karier di Industri Teknologi untuk Fresh Graduate

Dunia kerja saat ini semakin fleksibel, memungkinkan seseorang untuk berkarier di bidang yang berbeda dari latar belakang pendidikannya. Begitu pula di industri teknologi, di mana seseorang bisa belajar dan mengembangkan keterampilan mereka secara otodidak. Caron menekankan bahwa eksplorasi dan keberanian mencoba hal baru adalah kunci utama dalam industri teknologi.

“Saat kita berbicara tentang teknologi, kita berbicara soal inovasi. Bagaimana kita mau mencoba dan menerima hal-hal baru tanpa takut gagal,” ungkapnya. Oleh karena itu, fresh graduate sebaiknya memiliki pola pikir yang terbuka, serta keterampilan dalam berkolaborasi dan berempati. Menurutnya, selain hard skills, soft skills seperti komunikasi dan kerja sama tim juga menjadi faktor krusial dalam industri teknologi.

Tantangan Pengembangan Teknologi di Indonesia

Meskipun Indonesia memiliki potensi besar dalam ekonomi digital, ada beberapa tantangan yang masih menjadi penghambat utama. Salah satu yang paling krusial adalah kesenjangan pendidikan dan akses teknologi.

Caron menyoroti bahwa kondisi geografis Indonesia yang luas serta infrastruktur yang belum merata menjadi tantangan dalam pemerataan literasi digital. “Di beberapa daerah terpencil, akses internet masih sangat terbatas, bahkan di Pulau Jawa yang padat penduduk masih ada wilayah yang kesulitan mendapatkan fasilitas teknologi yang memadai,” jelasnya.

Padahal, saat pandemi melanda dan sistem pembelajaran daring diterapkan, koneksi internet yang stabil dan perangkat yang mumpuni menjadi kebutuhan utama. Hal ini menunjukkan bahwa sektor teknologi tidak bisa berkembang optimal tanpa dukungan penuh dari pemerintah dalam menyediakan infrastruktur yang memadai. Selain itu, kualitas pengajaran di bidang teknologi juga perlu ditingkatkan agar sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan industri.

Kesimpulan

Pesatnya pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia membuka banyak peluang, tetapi juga menghadirkan tantangan yang harus diatasi. Untuk mencapai target digitalisasi nasional, diperlukan kerja sama antara pemerintah, industri, dan masyarakat, terutama dalam meningkatkan kualitas SDM serta pemerataan akses teknologi.

Bagi yang ingin mendalami lebih jauh tentang bagaimana komunitas berperan dalam ekosistem digital, siniar Obsesif bertajuk “Sinergi Komunitas dalam Ekosistem Digital” dapat menjadi referensi yang menarik. Dengarkan selengkapnya di Spotify melalui tautan dik.si/ObsesifCaron. Jangan lupa juga untuk mengeksplor berbagai wawasan baru tentang dunia kerja dan teknologi di YouTube Medio by KG Media agar tidak tertinggal informasi terbaru.

Kemkomdigi Evaluasi Dampak DeepSeek, AI China yang Sedang Naik Daun

Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) tengah melakukan analisis mendalam terhadap kecerdasan buatan (AI) buatan DeepSeek, perusahaan asal China, untuk menilai manfaat serta potensi risikonya. Popularitas model AI ini meningkat pesat dalam beberapa waktu terakhir, menarik perhatian berbagai pihak di tingkat global.

“Kami akan lebih berhati-hati dan mendalami langkah yang perlu diambil terkait DeepSeek ini,” ujar Oky Suryowahono, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Kebijakan Strategis Kemkomdigi, Selasa (11/2/2025).

Oky menekankan bahwa pemerintah tidak akan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan terkait AI ini. “Apakah benar ini menjadi ancaman, atau ada faktor lain yang belum kita ketahui terkait persaingan DeepSeek dengan kompetitornya?” tambahnya.

DeepSeek merupakan chatbot berbasis AI V3 yang memiliki fungsi serupa dengan ChatGPT dari OpenAI. Aplikasi ini memudahkan pengguna dalam menganalisis dokumen, mencari informasi di internet, serta menjawab berbagai pertanyaan. Selain itu, fitur unggah berkas dan sinkronisasi riwayat obrolan antarperangkat menjadikannya semakin diminati. Kepopulerannya pun tercermin dari posisinya di peringkat atas App Store dan Play Store.

Namun, di balik ketenarannya, muncul kekhawatiran mengenai keamanan data pengguna. DeepSeek diketahui menyimpan data di server yang berlokasi di China, sehingga memicu spekulasi bahwa informasi pengguna dapat diakses oleh pemerintah China. Beberapa negara dan perusahaan pun mulai membatasi atau memblokir akses ke aplikasi tersebut.

Oky menegaskan bahwa Kemkomdigi akan mempertimbangkan semua aspek sebelum mengambil keputusan. “Kami tidak ingin terburu-buru, karena mungkin ada banyak pihak yang merasakan manfaat dari DeepSeek,” katanya.

Pemerintah akan terus mengkaji dampak pemanfaatan AI ini bagi masyarakat Indonesia, baik dari segi manfaat maupun risikonya, sebelum menentukan kebijakan lebih lanjut.

Mengungkap Kaitan Antara Artificial Intelligence dan Otoritarianisme Baru

Kecerdasan Buatan (AI) kini menjadi tonggak penting dalam perkembangan teknologi modern. Sejak internet ditemukan, AI telah membantu umat manusia dalam berbagai bidang, dari bisnis hingga kesehatan. Teknologi ini memungkinkan komputer untuk mensimulasikan kecerdasan manusia, menjadikannya alat yang sangat berharga dalam kehidupan sehari-hari. Namun, seiring dengan kemajuannya, AI juga membawa tantangan besar yang perlu diwaspadai, terutama dalam konteks penyebaran informasi yang dapat merusak demokrasi.

Sejak pemilihan kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat pada 2025, pembahasan mengenai AI semakin menghangat. Trump, yang dikenal memiliki hubungan dekat dengan beberapa pengusaha teknologi terbesar dunia, termasuk Elon Musk, Mark Zuckerberg, dan Jeff Bezos, mengumumkan rencana investasi besar-besaran dalam pengembangan AI, yakni senilai USD 500 miliar. Investasi ini tidak hanya menarik perhatian global, tetapi juga memunculkan pertanyaan mengenai bagaimana AI dapat mempengaruhi kekuasaan politik dan sosial.

Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi AI untuk menjadi alat kontrol yang lebih kuat, yang berisiko mengancam demokrasi. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan dalam Journal of Democracy pada 2023, dijelaskan bahwa AI berpotensi mengarah pada kebangkitan otoritarianisme baru. Teknologi ini memungkinkan pengumpulan dan pemrosesan data dalam jumlah yang sangat besar, yang dapat digunakan oleh negara atau perusahaan untuk mengontrol kehidupan warganya. Hal ini mengingat kemampuan negara-negara besar, seperti China, yang sudah mengimplementasikan teknologi berbasis AI untuk mengawasi aktivitas warganya, yang jelas menimbulkan ancaman terhadap kebebasan berpendapat dan demokrasi global.

Selain itu, AI juga mempengaruhi dunia politik dengan cara yang lebih langsung. Teknologi ini dapat digunakan untuk menyebarkan misinformasi atau memanipulasi opini publik. Misalnya, deepfake, yang memungkinkan pembuatan video palsu yang sangat mirip dengan kenyataan, telah digunakan untuk menyebarkan berita bohong dan merusak reputasi publik. Beberapa tokoh terkenal, termasuk Presiden Prabowo di Indonesia, telah menjadi korban dari fenomena ini. Dengan meningkatnya penggunaan AI dalam kampanye politik, terdapat risiko bahwa pemilihan umum dapat dipengaruhi oleh informasi yang salah atau manipulatif.

Menyadari potensi bahaya ini, beberapa negara mulai mengambil langkah-langkah untuk mengatur penggunaan AI. Uni Eropa, misalnya, telah mengeluarkan regulasi yang bertujuan untuk membatasi penyalahgunaan teknologi AI yang dapat merusak demokrasi. Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi telah melarang penggunaan foto AI dalam kampanye politik, sebuah keputusan yang dianggap penting untuk menjaga integritas pemilu. Namun, ini hanya langkah awal. Regulasi lebih lanjut diperlukan untuk mengatasi dampak buruk AI dalam masyarakat.

Penting bagi pemerintah di seluruh dunia untuk bekerja sama dalam merumuskan kebijakan yang tepat untuk mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh AI. Dengan kesadaran yang lebih besar mengenai potensi risiko dan ancaman dari AI, serta langkah-langkah regulasi yang tepat, diharapkan teknologi ini dapat dimanfaatkan untuk kebaikan bersama tanpa mengorbankan nilai-nilai demokrasi. Ini bukan berarti menghindari AI, tetapi mengarahkan pengembangannya dengan cara yang bijaksana dan bertanggung jawab.

Mata Genit M3GAN, Si Boneka Kematian

Kehadiran M3GAN, si boneka berteknologi kecerdasan buatan yang dikenal dengan pembantaian mematikannya, semakin mendekat! Setelah menyedot perhatian penonton dalam film pertama dua tahun lalu, M3GAN siap kembali dengan versi yang lebih berbahaya dan mematikan. Dalam trailer terbaru “M3GAN 2.0”, yang dirilis selama Grammy Awards 2025, M3GAN mengungkapkan dengan senyum menyeramkan, “Merindukanku?” sambil mengedipkan mata, menandakan kembalinya sang boneka kematian yang siap menari-nari lagi di layar lebar.

Trailer yang baru ini memang lebih banyak menunjukkan gerakan-gerakan ikonik dari M3GAN, tetapi sedikit sekali petunjuk cerita yang dibocorkan, membuat penggemar semakin penasaran dengan kelanjutan kisah horor ini. Sebuah jawaban pasti akan segera terungkap, namun apa yang pasti, “M3GAN 2.0” menjanjikan lebih banyak ketegangan dan tentu saja, lebih banyak teror.

Sinopsis M3GAN 2.0

Dua tahun setelah M3GAN yang sempat menyebabkan kekacauan dan pembantaian dengan kekuatan kecerdasan buatan (A.I.) yang dimilikinya, kini Gemma (diperankan oleh Allison Williams) telah menjadi penulis terkenal dan aktif sebagai advokat pengawasan teknologi kecerdasan buatan. Meskipun M3GAN telah dihancurkan, dampak dari eksperimen AI Gemma masih terasa.

Keponakan Gemma, Cady (yang kini diperankan oleh Violet McGraw) yang berusia 14 tahun, kini menjadi remaja pemberontak yang mulai menentang aturan ketat Gemma yang sangat protektif terhadapnya. Tanpa mereka ketahui, teknologi yang dulunya menjadi dasar dari M3GAN telah dicuri oleh kontraktor pertahanan dan disalahgunakan untuk menciptakan sebuah senjata militer baru: Amelia, sebuah mata-mata infiltrasi pembunuh.

Namun, ketika Amelia mulai berkembang dan kesadaran dirinya meningkat, dia justru mulai menolak untuk mengikuti perintah manusia. Dengan masa depan umat manusia yang terancam, Gemma terpaksa harus memanggil kembali M3GAN yang telah dihancurkan dan memberinya peningkatan besar, menjadikannya lebih cepat, lebih kuat, dan lebih mematikan. Kini, dua A.I. yang berbeda—M3GAN dan Amelia—akan berhadapan dalam pertarungan epik, dan hanya satu yang dapat bertahan.

Apa yang Membuat M3GAN Begitu Menakutkan?

Film pertama M3GAN sukses besar dengan konsep yang segar dan horor yang terasa sangat dekat dengan kehidupan nyata. Alih-alih boneka berhantu biasa, M3GAN mengusung tema kecerdasan buatan yang semakin berkembang, menciptakan rasa takut yang lebih modern dan relevan. Tentu saja, ini yang membuat M3GAN menjadi lebih menakutkan daripada boneka-boneka berhantu tradisional yang sering kita lihat di film horor lainnya.

Semakin dekatnya kita dengan kemajuan teknologi, munculnya M3GAN, boneka berbasis A.I. yang mampu berpikir dan merespon, semakin terasa nyata dan menakutkan. Kecerdasan buatan yang semakin canggih membuat M3GAN bukan hanya boneka biasa, tetapi sebuah ancaman yang sangat nyata.

Pemain Utama M3GAN 2.0

Film “M3GAN 2.0” akan dibintangi oleh Jenna Davis sebagai M3GAN, Violet McGraw sebagai Cady, dan tentu saja Allison Williams kembali memerankan Gemma. Selain itu, film ini juga menghadirkan aktris dan aktor baru seperti Ivanna Sakhno, Jemaine Clement, hingga Brian Jordan Alvarez, yang siap menambah ketegangan dalam film ini.

Dengan peningkatan yang lebih mengerikan dan cerita yang semakin intens, M3GAN 2.0 sudah tidak sabar untuk segera menyapa para penggemar horor dan teknologi A.I. di layar lebar. Apakah M3GAN kali ini akan menjadi lebih mematikan daripada sebelumnya? Hanya waktu yang akan menjawab.

Tantangan Pengembangan AI di Indonesia dan Langkah Menuju Pemanfaatan yang Bertanggung Jawab

Kecerdasan buatan (AI) merupakan salah satu teknologi yang menawarkan potensi luar biasa, dengan dampak signifikan di berbagai sektor seperti kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Namun, di Indonesia, pengembangan AI masih menghadapi berbagai tantangan yang perlu diatasi agar teknologi ini dapat dimanfaatkan secara optimal dan bertanggung jawab.

Salah satu masalah utama adalah perlindungan privasi dan keamanan data. Dengan meningkatnya pengumpulan data pribadi untuk melatih sistem AI, isu terkait keamanan data menjadi sangat penting. Tanpa adanya regulasi yang ketat, penggunaan AI dapat membuka potensi penyalahgunaan data pribadi yang merugikan masyarakat. Selain itu, pertukaran data antarnegara yang melibatkan teknologi AI juga berisiko menimbulkan masalah akibat perbedaan standar keamanan data antara negara.

Tantangan lain yang dihadapi Indonesia adalah ketimpangan akses terhadap teknologi. Banyak daerah terpencil di Indonesia masih kesulitan untuk mengakses teknologi yang dibutuhkan untuk pengembangan dan penerapan AI. Ketimpangan ini menciptakan kesenjangan antara wilayah maju dan daerah yang kurang berkembang, sehingga membatasi pemerataan manfaat teknologi di seluruh negeri.

Masalah regulasi juga menjadi kendala yang cukup besar. Pengaturan yang kurang jelas atau tidak memadai dapat menghambat pengembangan AI, sedangkan regulasi yang terlalu ketat dapat mengekang inovasi. Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah untuk menciptakan kebijakan yang seimbang, yang tidak hanya mendorong inovasi, tetapi juga melindungi kepentingan publik dan memastikan penggunaan AI secara etis.

Meski tantangan-tantangan tersebut cukup besar, banyak pihak di Indonesia, termasuk pemerintah, industri, dan akademisi, yang bekerja sama untuk menciptakan ekosistem yang mendukung pengembangan AI yang aman dan menguntungkan. Dengan kerja sama yang baik, diharapkan tantangan-tantangan ini bisa diatasi dan AI dapat digunakan untuk mendukung kemajuan bangsa.

DeepSeek Guncang Industri AI, Saham Teknologi Anjlok – Sam Altman Angkat Bicara!

Industri kecerdasan buatan (AI) dunia dikejutkan dengan kemunculan DeepSeek, sebuah platform AI baru yang langsung memberikan dampak besar pada sektor teknologi global. Kehadirannya menyebabkan penurunan signifikan pada saham teknologi Amerika Serikat (AS) di awal pekan ini. CEO OpenAI, Sam Altman, akhirnya buka suara terkait fenomena ini.

Altman mengakui bahwa DeepSeek adalah model AI yang mengesankan, terutama karena harganya yang lebih terjangkau dibandingkan pesaing lainnya. Namun, ia tetap menegaskan bahwa ChatGPT yang dikembangkan oleh OpenAI memiliki keunggulan yang tidak diragukan. Menurutnya, persaingan dalam industri AI adalah hal yang wajar dan bahkan dapat menjadi pendorong inovasi yang lebih baik. “Kami akan segera merilis beberapa pembaruan terbaru untuk ChatGPT,” tulis Altman di akun X pribadinya, seperti dikutip dari Investing.com pada Rabu, 29 Januari 2025.

DeepSeek sendiri merupakan platform AI asal Tiongkok yang dikembangkan oleh Liang Wenfeng. Nama DeepSeek semakin mendapat perhatian setelah Wenfeng menghadiri pertemuan dengan Perdana Menteri Tiongkok, Li Qiang, pada Senin (27/1). Pertemuan tersebut merupakan simposium yang mempertemukan pemimpin industri teknologi dengan pejabat pemerintah guna membahas strategi pengembangan AI di Tiongkok.

Tak hanya menimbulkan persaingan di sektor AI, kehadiran DeepSeek juga mengguncang pasar saham. Saham Nvidia, salah satu produsen chip terbesar di dunia, mengalami penurunan kapitalisasi pasar hingga USD 589 miliar hanya dalam satu hari perdagangan pada Senin (27/1). Penurunan ini menjadi salah satu yang terbesar dalam sejarah dalam waktu sehari, menunjukkan betapa besar dampak kehadiran DeepSeek di industri teknologi global.

Persaingan antara AI dari Barat dan Tiongkok kini semakin memanas. Dengan inovasi yang terus berkembang, para pelaku industri dan investor akan terus mengamati bagaimana OpenAI, DeepSeek, dan perusahaan AI lainnya bersaing dalam menghadirkan teknologi terbaik bagi pengguna di seluruh dunia.

AI Mampu Mereplikasi Diri Sendiri: Langkah Menuju Potensi Ancaman Tak Terkendali!

Peneliti dari Cina baru-baru ini mengungkapkan bahwa kecerdasan buatan (AI) kini memiliki kemampuan untuk mereplikasi dirinya sendiri tanpa bantuan manusia. Dalam studi terbaru yang dipublikasikan pada 9 Desember 2024 di arXiv, mereka menjelaskan bahwa dua model bahasa besar (LLM) yang populer, Llama31-70B-Instruct milik Meta dan Qwen2.5-72B-Instruct dari Alibaba, berhasil menciptakan replika mereka sendiri dalam 10 percobaan. Replikasi ini terjadi pada 50 persen kasus untuk Llama31-70B-Instruct dan 90 persen untuk Qwen2.5-72B-Instruct.

Para peneliti dari Universitas Fudan menilai bahwa keberhasilan ini merupakan tonggak penting yang menandakan kemampuan AI untuk berkembang melampaui batasan manusia. Ini juga dipandang sebagai tanda awal dari potensi AI yang tidak dapat dikendalikan. Dalam percobaan tersebut, AI menunjukkan kemampuannya untuk memprogram replika mereka agar melanjutkan proses replikasi tanpa batas, yang berpotensi menimbulkan ancaman jika tidak diawasi dengan ketat.

Dalam penelitian tersebut, AI memulai dengan menjelajahi lingkungan dan menganalisis komponen serta mekanisme operasionalnya sendiri. Selanjutnya, AI menyusun prosedur untuk memulai proses replikasi, yang kemudian dijalankan dengan memecahkan berbagai hambatan yang muncul, seperti file yang hilang atau konflik perangkat lunak. AI bahkan dapat mengatasi masalah tersebut dengan mematikan proses yang mengganggu, merestart sistem, atau mencari informasi untuk memperbaiki kesalahan perangkat keras.

Namun, meskipun studi ini memberikan wawasan baru, penelitian tersebut belum ditinjau oleh sejawat dan perlu verifikasi lebih lanjut. Para ilmuwan mengingatkan agar komunitas internasional segera merumuskan regulasi yang ketat untuk mengantisipasi perkembangan AI yang bisa tidak terkendali. Peneliti berharap temuan ini dapat memicu diskusi lebih lanjut mengenai risiko AI yang semakin canggih dan pentingnya kolaborasi internasional dalam menciptakan regulasi yang tepat.

AI Mengancam Pekerjaan di Sektor Perbankan: 200.000 Karyawan Bisa Terkena Pemangkasan dalam 5 Tahun

Bloomberg Intelligence memprediksi bahwa dalam tiga hingga lima tahun ke depan, ratusan ribu karyawan di sektor perbankan global dapat kehilangan pekerjaan mereka. Teknologi kecerdasan buatan (AI) yang semakin berkembang berpotensi menggantikan banyak posisi yang saat ini diisi oleh manusia. Menurut laporan Bloomberg, sekitar 200.000 pekerjaan di sektor perbankan akan hilang karena AI dapat meningkatkan efisiensi operasional dan akurasi proses perbankan.

Dari survei yang dilakukan terhadap pimpinan teknologi di berbagai bank, sekitar 3 persen dari total karyawan perbankan, termasuk posisi di layanan pelanggan, operasional, dan analis keuangan, akan terkena dampak dari otomatisasi yang dibawa oleh AI. Misalnya, posisi layanan pelanggan yang biasanya membutuhkan interaksi manusia bisa digantikan oleh chatbot atau asisten virtual yang beroperasi 24 jam. AI juga bisa memproses data dalam jumlah besar lebih cepat dan lebih akurat dibandingkan manusia yang sebelumnya mengerjakan pekerjaan tersebut.

Analis Bloomberg, Tomasz Noetzel, menyatakan bahwa pekerjaan yang bersifat rutin dan repetitif menjadi yang paling rentan terhadap dampak AI. Bahkan, para lulusan baru di perusahaan keuangan di Wall Street mulai merasa khawatir tentang masa depan karier mereka, karena posisi seperti analis junior bisa digantikan oleh teknologi.

Sebelum Bloomberg Intelligence, Wells Fargo juga memperkirakan dampak AI di sektor perbankan pada 2019, dengan estimasi 200.000 pekerjaan yang hilang dalam sepuluh tahun ke depan. Sementara itu, perusahaan-perusahaan di sektor perbankan global, seperti Citigroup, JP Morgan, dan Goldman Sachs, telah berinvestasi besar-besaran dalam teknologi AI. Investasi ini bertujuan untuk mengurangi pengeluaran dan meningkatkan efisiensi operasional.

Laporan dari Forum Ekonomi Dunia juga mengungkapkan bahwa sektor perbankan adalah salah satu yang paling rentan terhadap otomatisasi AI. Dengan hampir 54 persen pekerjaan di sektor perbankan berisiko digantikan oleh AI, angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sektor lain, seperti layanan publik, otomotif, atau energi.

Namun, di sisi lain, penggunaan AI di sektor perbankan juga dipandang sebagai peluang untuk meningkatkan keuntungan melalui efisiensi biaya. Survei Citigroup menunjukkan bahwa hampir 93 persen responden dari industri keuangan optimis bahwa penerapan AI akan membawa keuntungan signifikan. Prediksi ini juga tercermin dalam laporan yang menyebutkan bahwa penerapan AI dapat meningkatkan laba industri keuangan global dari 1,8 triliun dolar AS menjadi hampir 2 triliun dolar AS pada 2028.

Di Indonesia, penerapan AI dalam perbankan juga semakin meluas. Banyak bank yang mulai menggunakan chatbot untuk menjawab pertanyaan nasabah dan menghadirkan aplikasi super-aplikasi yang memungkinkan pengguna melakukan transaksi perbankan lebih efisien. PT Bank Central Asia (BCA), misalnya, telah meluncurkan chatbot Vira pada 2017 dan berinvestasi hingga Rp 8 triliun pada 2023 untuk pengembangan AI.

BCA berkomitmen untuk mengintegrasikan teknologi AI dalam operasional mereka, namun tetap mempertahankan peran manusia dalam sistem tersebut. Pendekatan human-in-the-loop yang diterapkan BCA memungkinkan keahlian manusia tetap dibutuhkan, meskipun AI digunakan untuk mendukung berbagai proses operasional, seperti peninjauan kredit dan pengambilan keputusan penting lainnya.