Category Archives: Berita Kecerdasan Buatan (AI)

https://mezzojane.com

Italia Blokir DeepSeek, Aplikasi AI China, Karena Masalah Perlindungan Data Pengguna

Pada Kamis (30/1), Italia memutuskan untuk menutup akses ke DeepSeek, sebuah aplikasi kecerdasan buatan (AI) asal China, sebagai langkah perlindungan terhadap data pribadi pengguna di negara tersebut. Keputusan ini dikeluarkan oleh Otoritas Perlindungan Data Italia (GPDP), yang menilai bahwa pengumpulan data oleh perusahaan tersebut tidak sesuai dengan regulasi perlindungan data yang berlaku di Italia. Selain itu, GPDP juga memerintahkan dua perusahaan yang mengembangkan aplikasi ini—Hangzhou DeepSeek Artificial Intelligence dan Beijing DeepSeek Artificial Intelligence—untuk segera menghentikan penggunaan data pribadi pengguna Italia.

Langkah ini diambil setelah dilakukan penyelidikan mendalam terhadap bagaimana data pengguna dikumpulkan dan diproses oleh DeepSeek. GPDP menemukan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut tidak memberikan informasi yang cukup tentang dasar hukum dari pengumpulan data pengguna. Hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai potensi penyalahgunaan data pribadi yang dikumpulkan tanpa perlindungan yang memadai. Dalam pernyataannya, GPDP menegaskan bahwa keputusan ini diambil untuk melindungi hak privasi dan kepentingan pengguna di Italia.

Sebagai tindak lanjut, GPDP memulai penyelidikan resmi terhadap DeepSeek, yang merupakan perusahaan rintisan teknologi asal China. Langkah ini mengingatkan pada tindakan yang sama yang dilakukan pada Maret 2023, ketika Italia juga membatasi sementara ChatGPT milik OpenAI asal AS karena masalah privasi yang serupa. DeepSeek, yang baru saja meluncurkan model AI DeepSeek-R1 pada 20 Januari, merupakan aplikasi open-source yang dikembangkan dengan biaya rendah, berkat penggunaan cip yang lebih efisien. Model ini kini menjadi pesaing serius bagi dominasi teknologi kecerdasan buatan dari negara-negara Barat, yang selama ini mendominasi pasar global.

Tantangan Pengembangan AI di Indonesia dan Langkah Menuju Pemanfaatan yang Bertanggung Jawab

Kecerdasan buatan (AI) merupakan salah satu teknologi yang menawarkan potensi luar biasa, dengan dampak signifikan di berbagai sektor seperti kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Namun, di Indonesia, pengembangan AI masih menghadapi berbagai tantangan yang perlu diatasi agar teknologi ini dapat dimanfaatkan secara optimal dan bertanggung jawab.

Salah satu masalah utama adalah perlindungan privasi dan keamanan data. Dengan meningkatnya pengumpulan data pribadi untuk melatih sistem AI, isu terkait keamanan data menjadi sangat penting. Tanpa adanya regulasi yang ketat, penggunaan AI dapat membuka potensi penyalahgunaan data pribadi yang merugikan masyarakat. Selain itu, pertukaran data antarnegara yang melibatkan teknologi AI juga berisiko menimbulkan masalah akibat perbedaan standar keamanan data antara negara.

Tantangan lain yang dihadapi Indonesia adalah ketimpangan akses terhadap teknologi. Banyak daerah terpencil di Indonesia masih kesulitan untuk mengakses teknologi yang dibutuhkan untuk pengembangan dan penerapan AI. Ketimpangan ini menciptakan kesenjangan antara wilayah maju dan daerah yang kurang berkembang, sehingga membatasi pemerataan manfaat teknologi di seluruh negeri.

Masalah regulasi juga menjadi kendala yang cukup besar. Pengaturan yang kurang jelas atau tidak memadai dapat menghambat pengembangan AI, sedangkan regulasi yang terlalu ketat dapat mengekang inovasi. Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah untuk menciptakan kebijakan yang seimbang, yang tidak hanya mendorong inovasi, tetapi juga melindungi kepentingan publik dan memastikan penggunaan AI secara etis.

Meski tantangan-tantangan tersebut cukup besar, banyak pihak di Indonesia, termasuk pemerintah, industri, dan akademisi, yang bekerja sama untuk menciptakan ekosistem yang mendukung pengembangan AI yang aman dan menguntungkan. Dengan kerja sama yang baik, diharapkan tantangan-tantangan ini bisa diatasi dan AI dapat digunakan untuk mendukung kemajuan bangsa.

Dewan Pers Rilis Pedoman Penggunaan AI dalam Jurnalistik untuk Pastikan Etika dan Kualitas

Dewan Pers Indonesia baru saja meluncurkan pedoman resmi mengenai penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam produksi karya jurnalistik, bertujuan untuk memastikan karya jurnalistik tetap mematuhi prinsip etika dan integritas di tengah pesatnya kemajuan teknologi. Pedoman yang dituangkan dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1 Tahun 2025 ini disusun dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk perwakilan media dan konstituen, serta pakar AI.

Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menyatakan bahwa proses penyusunan pedoman ini dimulai sejak April 2024, dan melibatkan uji publik yang mencakup masukan dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk Mahkamah Agung. “Pedoman ini sangat diantisipasi oleh insan pers, karena dapat mempercepat proses jurnalistik dan meningkatkan efisiensi kerja,” ujarnya dalam konferensi pers pada 24 Januari 2025.

Ninik menekankan bahwa meskipun teknologi AI dapat digunakan, kontrol dan prinsip etika tetap menjadi kewajiban untuk memastikan karya jurnalistik tetap akurat, transparan, dan independen. Pedoman ini tidak mengubah kode etik jurnalistik, namun menjadi pelengkap untuk mengikuti perkembangan teknologi dalam dunia pers.

Tim yang menyusun pedoman ini, yang dipimpin oleh Suprapto, menjelaskan bahwa AI hanya boleh digunakan sebagai alat bantu. Semua proses produksi karya jurnalistik tetap harus dikendalikan oleh manusia, dan perusahaan pers harus bertanggung jawab terhadap komplain atau gugatan yang timbul. “Kami berharap dengan menggunakan AI, kualitas karya jurnalistik akan semakin baik dan lebih terjamin,” kata Suprapto.

Pedoman ini terdiri dari 8 bab dan 10 pasal yang mencakup ketentuan umum, prinsip dasar, teknologi yang digunakan, aturan publikasi, aspek komersial, perlindungan, penyelesaian sengketa, dan ketentuan penutup. Pedoman ini berlaku mulai 22 Januari 2025, dan diharapkan dapat menjadi dasar bagi para profesional media untuk menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas.

AI Mampu Mereplikasi Diri Sendiri: Langkah Menuju Potensi Ancaman Tak Terkendali!

Peneliti dari Cina baru-baru ini mengungkapkan bahwa kecerdasan buatan (AI) kini memiliki kemampuan untuk mereplikasi dirinya sendiri tanpa bantuan manusia. Dalam studi terbaru yang dipublikasikan pada 9 Desember 2024 di arXiv, mereka menjelaskan bahwa dua model bahasa besar (LLM) yang populer, Llama31-70B-Instruct milik Meta dan Qwen2.5-72B-Instruct dari Alibaba, berhasil menciptakan replika mereka sendiri dalam 10 percobaan. Replikasi ini terjadi pada 50 persen kasus untuk Llama31-70B-Instruct dan 90 persen untuk Qwen2.5-72B-Instruct.

Para peneliti dari Universitas Fudan menilai bahwa keberhasilan ini merupakan tonggak penting yang menandakan kemampuan AI untuk berkembang melampaui batasan manusia. Ini juga dipandang sebagai tanda awal dari potensi AI yang tidak dapat dikendalikan. Dalam percobaan tersebut, AI menunjukkan kemampuannya untuk memprogram replika mereka agar melanjutkan proses replikasi tanpa batas, yang berpotensi menimbulkan ancaman jika tidak diawasi dengan ketat.

Dalam penelitian tersebut, AI memulai dengan menjelajahi lingkungan dan menganalisis komponen serta mekanisme operasionalnya sendiri. Selanjutnya, AI menyusun prosedur untuk memulai proses replikasi, yang kemudian dijalankan dengan memecahkan berbagai hambatan yang muncul, seperti file yang hilang atau konflik perangkat lunak. AI bahkan dapat mengatasi masalah tersebut dengan mematikan proses yang mengganggu, merestart sistem, atau mencari informasi untuk memperbaiki kesalahan perangkat keras.

Namun, meskipun studi ini memberikan wawasan baru, penelitian tersebut belum ditinjau oleh sejawat dan perlu verifikasi lebih lanjut. Para ilmuwan mengingatkan agar komunitas internasional segera merumuskan regulasi yang ketat untuk mengantisipasi perkembangan AI yang bisa tidak terkendali. Peneliti berharap temuan ini dapat memicu diskusi lebih lanjut mengenai risiko AI yang semakin canggih dan pentingnya kolaborasi internasional dalam menciptakan regulasi yang tepat.

AI Mengancam Pekerjaan di Sektor Perbankan: 200.000 Karyawan Bisa Terkena Pemangkasan dalam 5 Tahun

Bloomberg Intelligence memprediksi bahwa dalam tiga hingga lima tahun ke depan, ratusan ribu karyawan di sektor perbankan global dapat kehilangan pekerjaan mereka. Teknologi kecerdasan buatan (AI) yang semakin berkembang berpotensi menggantikan banyak posisi yang saat ini diisi oleh manusia. Menurut laporan Bloomberg, sekitar 200.000 pekerjaan di sektor perbankan akan hilang karena AI dapat meningkatkan efisiensi operasional dan akurasi proses perbankan.

Dari survei yang dilakukan terhadap pimpinan teknologi di berbagai bank, sekitar 3 persen dari total karyawan perbankan, termasuk posisi di layanan pelanggan, operasional, dan analis keuangan, akan terkena dampak dari otomatisasi yang dibawa oleh AI. Misalnya, posisi layanan pelanggan yang biasanya membutuhkan interaksi manusia bisa digantikan oleh chatbot atau asisten virtual yang beroperasi 24 jam. AI juga bisa memproses data dalam jumlah besar lebih cepat dan lebih akurat dibandingkan manusia yang sebelumnya mengerjakan pekerjaan tersebut.

Analis Bloomberg, Tomasz Noetzel, menyatakan bahwa pekerjaan yang bersifat rutin dan repetitif menjadi yang paling rentan terhadap dampak AI. Bahkan, para lulusan baru di perusahaan keuangan di Wall Street mulai merasa khawatir tentang masa depan karier mereka, karena posisi seperti analis junior bisa digantikan oleh teknologi.

Sebelum Bloomberg Intelligence, Wells Fargo juga memperkirakan dampak AI di sektor perbankan pada 2019, dengan estimasi 200.000 pekerjaan yang hilang dalam sepuluh tahun ke depan. Sementara itu, perusahaan-perusahaan di sektor perbankan global, seperti Citigroup, JP Morgan, dan Goldman Sachs, telah berinvestasi besar-besaran dalam teknologi AI. Investasi ini bertujuan untuk mengurangi pengeluaran dan meningkatkan efisiensi operasional.

Laporan dari Forum Ekonomi Dunia juga mengungkapkan bahwa sektor perbankan adalah salah satu yang paling rentan terhadap otomatisasi AI. Dengan hampir 54 persen pekerjaan di sektor perbankan berisiko digantikan oleh AI, angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sektor lain, seperti layanan publik, otomotif, atau energi.

Namun, di sisi lain, penggunaan AI di sektor perbankan juga dipandang sebagai peluang untuk meningkatkan keuntungan melalui efisiensi biaya. Survei Citigroup menunjukkan bahwa hampir 93 persen responden dari industri keuangan optimis bahwa penerapan AI akan membawa keuntungan signifikan. Prediksi ini juga tercermin dalam laporan yang menyebutkan bahwa penerapan AI dapat meningkatkan laba industri keuangan global dari 1,8 triliun dolar AS menjadi hampir 2 triliun dolar AS pada 2028.

Di Indonesia, penerapan AI dalam perbankan juga semakin meluas. Banyak bank yang mulai menggunakan chatbot untuk menjawab pertanyaan nasabah dan menghadirkan aplikasi super-aplikasi yang memungkinkan pengguna melakukan transaksi perbankan lebih efisien. PT Bank Central Asia (BCA), misalnya, telah meluncurkan chatbot Vira pada 2017 dan berinvestasi hingga Rp 8 triliun pada 2023 untuk pengembangan AI.

BCA berkomitmen untuk mengintegrasikan teknologi AI dalam operasional mereka, namun tetap mempertahankan peran manusia dalam sistem tersebut. Pendekatan human-in-the-loop yang diterapkan BCA memungkinkan keahlian manusia tetap dibutuhkan, meskipun AI digunakan untuk mendukung berbagai proses operasional, seperti peninjauan kredit dan pengambilan keputusan penting lainnya.

DeepSeek: AI China Tantang Dominasi OpenAI dengan Model Lebih Murah dan Canggih

Perusahaan kecerdasan buatan (AI) asal China, DeepSeek, muncul sebagai pesaing serius bagi perusahaan AI terkemuka asal Amerika Serikat (AS). DeepSeek diklaim menawarkan solusi AI yang lebih terjangkau dibandingkan OpenAI. Berdasarkan laporan dari Global Times, Minggu (26/1/2025), DeepSeek telah berhasil mengembangkan sistem AI yang sebanding dengan model AI OpenAI, meskipun perusahaan ini harus menghadapi tantangan besar terkait pembatasan semikonduktor yang diberlakukan oleh pemerintah AS terhadap China.

Laporan dari Nature menyebutkan bahwa model AI DeepSeek, yang bersifat open-source dan lebih terjangkau, telah menarik perhatian besar dari kalangan ilmuwan. DeepSeek mampu melakukan berbagai tugas di bidang kimia, matematika, dan pengkodean, yang setara dengan kemampuan model OpenAI. Pada Desember 2024, perusahaan yang berlokasi di Hangzhou ini merilis model AI canggih mereka yang disebut DeepSeek-V3, yang segera mendapatkan perhatian luas di seluruh dunia dan memicu perbincangan internasional di platform media sosial dan forum teknologi.

DeepSeek menegaskan bahwa mereka tidak bekerja sama dengan proyek eksternal dan tidak memberikan layanan privatasi, dengan fokus utama pada penelitian dan pengembangan model-model AI yang lebih canggih. Tian Feng, mantan Dekan dari Institut Riset Industri Kecerdasan di perusahaan AI China, SenseTime, menilai bahwa biaya pelatihan yang lebih rendah pada model DeepSeek dapat mengubah dinamika pengembangan AI, dengan tekanan baru terhadap perusahaan AI AS.

Profesor Li Baiyang dari Universitas Nanjing juga mengungkapkan bahwa pendekatan teknologi DeepSeek mengguncang dominasi perusahaan AI AS dan membuktikan ketidakefektifan pembatasan chip yang diterapkan oleh AS. Meski kedua negara bersaing ketat dalam industri AI, Li Baiyang menekankan bahwa ada potensi besar untuk kerjasama, terutama dalam hal tata kelola AI. Sementara itu, Presiden AS, Donald Trump, baru-baru ini mengumumkan investasi sebesar US$500 miliar untuk infrastruktur AI di AS, yang melibatkan tiga perusahaan teknologi terkemuka yang berkolaborasi membentuk perusahaan baru bernama Stargate.

DeepSeek R1: AI China yang Dapat Mengungguli OpenAI Buat AS Khawatir

Dunia teknologi dikejutkan oleh pengumuman bahwa model AI baru dari China, DeepSeek R1, diklaim lebih efisien dan mampu bersaing dengan model terkenal OpenAI, ChatGPT o1. Keberhasilan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pejabat AS terkait potensi kemajuan teknologi China dalam bidang kecerdasan buatan.

DeepSeek R1 adalah model open-source yang dikembangkan oleh startup AI asal China, DeepSeek. Model ini dikatakan telah berhasil mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan AI di China, terutama setelah adanya sanksi dari AS yang membatasi akses mereka terhadap teknologi canggih. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada hambatan, inovasi tetap dapat berkembang melalui pendekatan yang lebih efisien dan kolaboratif.

DeepSeek R1 dilaporkan memiliki kemampuan matematika dan pemrograman yang lebih baik dibandingkan dengan ChatGPT o1, dengan akurasi 97,3% pada benchmark MATH-500. Sementara itu, OpenAI mencatat 96,4%. Hal ini menandakan bahwa DeepSeek R1 tidak hanya kompetitif tetapi juga unggul dalam beberapa aspek penting. Ini mencerminkan tren di mana perusahaan-perusahaan baru dapat menantang dominasi pemain besar melalui inovasi.

Salah satu faktor utama yang membuat DeepSeek R1 menarik adalah biaya operasionalnya yang jauh lebih rendah dibandingkan OpenAI. Dengan biaya hanya $0,14 per juta token dibandingkan dengan $7,5 untuk OpenAI, model ini menawarkan solusi yang lebih terjangkau bagi pengembang dan peneliti. Ini menunjukkan bahwa efisiensi biaya dapat menjadi faktor penentu dalam adopsi teknologi baru di pasar.

Keberhasilan DeepSeek R1 dapat memicu perubahan besar dalam lanskap industri AI global. Banyak analis percaya bahwa kemajuan ini akan mendorong perusahaan-perusahaan lain untuk berinovasi dan meningkatkan produk mereka agar tetap kompetitif. Ini menunjukkan bahwa persaingan di bidang teknologi AI semakin ketat dan dapat mengubah cara kita melihat pengembangan kecerdasan buatan di masa depan.

Dengan peluncuran DeepSeek R1, dunia teknologi harus bersiap menghadapi perubahan signifikan dalam industri AI. Diharapkan bahwa kemajuan ini tidak hanya akan mendorong inovasi tetapi juga meningkatkan kolaborasi internasional dalam pengembangan teknologi. Sementara itu, perhatian dari pemerintah AS menunjukkan bahwa mereka perlu mempertimbangkan strategi baru untuk menghadapi tantangan dari pesaing global seperti China dalam bidang kecerdasan buatan.

Paul McCartney Peringatkan Ancaman AI Terhadap Kreativitas dan Hak Cipta Artis

Paul McCartney memperingatkan bahwa kecerdasan buatan (AI) dapat mengancam keberadaan artis, terutama terkait dengan usulan undang-undang hak cipta yang berpotensi mengurangi insentif bagi penulis dan seniman, serta merusak kreativitas. Dalam wawancara dengan BBC, McCartney mengungkapkan kekhawatirannya bahwa perubahan kebijakan ini akan merugikan artis yang telah menciptakan karya mereka. Menurutnya, materi berhak cipta yang digunakan untuk melatih model AI harus melibatkan hak-hak pencipta, dan keuntungan dari karya mereka seharusnya kembali kepada mereka.

McCartney menyoroti bahwa jika materi berhak cipta digunakan oleh AI tanpa izin, uang yang dihasilkan dari karya tersebut tidak akan sampai ke penciptanya. Dia juga menekankan bahwa tanpa perlindungan yang jelas, akan terjadi ketidakadilan dalam industri kreatif. Penggunaan materi berhak cipta untuk melatih model AI kini tengah menjadi topik konsultasi pemerintah, yang bertujuan mengeksplorasi bagaimana menciptakan regulasi yang adil untuk para kreator.

Sementara itu, beberapa penerbit dan perusahaan media telah mencapai kesepakatan dengan perusahaan AI untuk memberikan izin penggunaan materi mereka untuk melatih model AI. Namun, McCartney mengimbau pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan yang diusulkan, karena hal ini bisa merugikan pencipta karya.

Pada bulan Desember tahun lalu, McCartney juga bergabung dengan sejumlah selebritas lain dalam penandatanganan petisi yang menentang penggunaan karya kreatif tanpa izin untuk melatih AI. Selain itu, McCartney dan Ringo Starr sempat menggunakan teknologi AI untuk memisahkan vokal John Lennon dalam demo lagu dari tahun 1977, sebagai contoh pemanfaatan AI dalam dunia musik.

Pemerintah Inggris kini mengadakan konsultasi hingga 25 Februari untuk membahas cara-cara yang dapat meningkatkan hubungan antara sektor kreatif dan AI, serta bagaimana memberikan kompensasi yang adil kepada para pencipta karya.

Trump Tandatangani Perintah Eksekutif untuk Mengukuhkan Dominasi AS dalam AI dan Kripto

Pada Kamis (23/01/2025), Presiden Donald Trump mengumumkan langkah strategis Amerika Serikat untuk mempertahankan posisi terdepan dalam teknologi kecerdasan buatan (AI) melalui penandatanganan perintah eksekutif. Mengutip Bloomberg (24/01/2025), perintah ini memerintahkan pembentukan kelompok antarlembaga yang bertugas merancang kebijakan dalam waktu enam bulan untuk mempercepat dominasi AS di bidang AI. Kebijakan ini juga mencabut aturan yang sebelumnya diterapkan oleh Presiden Joe Biden, yang menekankan transparansi dan keselamatan dalam pengembangan AI.

David Sacks, pemodal ventura yang juga calon kepala kebijakan AI dan kripto untuk pemerintahan Trump, menyatakan, “Tujuan kami adalah menjadikan Amerika sebagai pusat dunia dalam AI untuk menguasai dan memimpin industri ini.” Selain fokus pada AI, Trump juga menginisiasi pembentukan kelompok kerja yang dipimpin oleh Sacks untuk mendukung sektor kripto. Kelompok ini bertugas mengeksplorasi penciptaan aset digital dan merancang proposal legislasi yang bertujuan menguatkan posisi AS sebagai pemimpin global dalam mata uang kripto.

Melalui perintah eksekutif ini, Trump bertujuan untuk mendorong investasi dari sektor swasta dengan mempercepat proses perizinan dan melonggarkan regulasi yang ada. Dukungan dari tokoh industri seperti Sacks dan Elon Musk, yang kini menjadi salah satu penasihat Presiden, diharapkan dapat menggerakkan kebijakan ini. Salah satu langkah dalam kebijakan ini adalah menghindari bias ideologis dalam pengembangan AI, yang beberapa alat AI, seperti generator gambar milik Google, telah mendapat kritik atas kecenderungan politik tertentu.

Pada hari pertama masa jabatannya, Trump meluncurkan proyek kemitraan besar bernama Stargate, yang melibatkan SoftBank Group Corp., OpenAI, dan Oracle Corp. untuk membangun infrastruktur pusat data. Proyek ini mendapatkan investasi awal sebesar US$100 miliar dengan rencana ekspansi mencapai US$500 miliar. Meski demikian, proyek Stargate menuai kontroversi, terutama dari Elon Musk, yang mempertanyakan kapasitas pendanaan proyek tersebut. Sam Altman dari OpenAI membantah tuduhan tersebut, sementara Trump merespon dengan santai, mengatakan, “Mereka mengeluarkan uang. Mereka orang-orang kaya, jadi saya rasa mereka punya.”

Langkah agresif Trump dalam bidang AI ini datang saat negara-negara lain, termasuk Uni Eropa, terus menetapkan aturan ketat terkait teknologi baru. Namun, Trump tetap optimis bahwa kebijakan barunya akan menjadikan AS sebagai pusat global inovasi dan investasi di sektor AI dan kripto.

Microsoft Uji Coba Fitur Pencarian Berbasis AI Di Windows 11

Microsoft mengumumkan bahwa mereka sedang melakukan uji coba fitur pencarian berbasis kecerdasan buatan (AI) di sistem operasi Windows 11. Fitur ini dirancang untuk meningkatkan pengalaman pengguna dengan memanfaatkan teknologi pengindeksan semantik, memungkinkan pencarian yang lebih intuitif dan responsif.

Fitur pencarian baru ini merupakan bagian dari upaya Microsoft untuk memodernisasi cara pengguna menemukan informasi di perangkat mereka. Dengan menggunakan pengindeksan semantik, pengguna dapat mencari file atau dokumen dengan menggunakan bahasa yang lebih kasual, bukan hanya kata kunci yang kaku. Ini menunjukkan bahwa Microsoft berkomitmen untuk membuat teknologi lebih mudah diakses dan digunakan oleh semua orang.

Saat ini, fitur pencarian berbasis AI ini hanya tersedia untuk pengguna Windows 11 Insider yang menggunakan perangkat Copilot+ PC berbasis Snapdragon. Pengguna dapat mencari file dalam format tertentu seperti JPEG, PNG, PDF, TXT, dan XLS. Meskipun demikian, Microsoft berencana untuk memperluas dukungan ke perangkat berbasis Intel dan AMD di masa mendatang. Ini mencerminkan bahwa perusahaan masih dalam tahap awal pengembangan dan pengujian fitur ini.

Microsoft juga menekankan pentingnya privasi dalam penggunaan fitur baru ini. Pengguna memiliki kontrol penuh atas file dan folder mana yang ingin mereka indeks untuk pencarian. Opsi ini dapat ditemukan di bagian Settings > Privacy & Security > Searching Windows. Dengan memberikan pilihan kepada pengguna, Microsoft menunjukkan komitmennya terhadap keamanan data pribadi.

Fitur pencarian AI saat ini mendukung beberapa bahasa termasuk Inggris, Mandarin, Prancis, dan Jepang. Microsoft berencana untuk menambah dukungan bahasa lainnya seiring dengan perkembangan fitur ini. Ini menunjukkan bahwa perusahaan ingin menjangkau audiens global dengan teknologi yang inklusif.

Dengan peluncuran uji coba fitur pencarian berbasis AI ini, semua pihak berharap agar Microsoft dapat terus meningkatkan pengalaman pengguna di Windows 11. Diharapkan bahwa inovasi ini akan membawa perubahan signifikan dalam cara pengguna berinteraksi dengan perangkat mereka. Keberhasilan implementasi fitur ini akan menjadi indikator penting bagi masa depan teknologi pencarian di sistem operasi Windows.